Field Note
1.
CIRI-CIRI AGAMA JAWA
TABEL STRUKTUR SOSIAL ORANG
JAWA DI MOJOKUTO
DIMENSI
|
ABANGAN
|
SANTRI
|
PRIYAYI
|
Aspek penekanan agama
|
menekankan aspek-aspek
animisme-sinkretisme Jawa
|
menekankan aspek-aspek Islam sinkretik
|
Menekankan
ke arah Hinduistik
|
Pusat Tempat Tinggal (Dominan)
|
intinya berpusat di pedesaan
|
intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar
|
intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota
|
Dominasi Golongan Pekerjaan
|
masyarakat kaum tani desa
|
dimanifestasikan sebagai pedagang, petani-petani kaya
|
golongan pegawai birokrasi, birokrat-birokrat pemerintah
|
Ritual-ritual atau tradisi
|
Tradisi Petungan, tradisi
slametan
|
pokok agama islam, seperti kewajiban shalat lima
kali sehari, shalat jumat di mesjid, berpuasa selama bulan ramadhan, dan
menunaikan haji ke mekah
|
cenderung ke arah Hinduistik, mistik,
aestitisisme dan kesadaran akan pangkat. Seperti bentuk tapa dan
semedi dalam keadaan ngesti
|
Pemberian Kekuasaan
|
warisan kesukuan
|
Karismatik
|
secara turun temurun (garis
keturunan)
|
Wujud Citra Agama
|
kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan
seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, dan ilmu gaib. Serta lebih identik dengan tradisi-tradisi
rakyat
|
bersungguh-sungguh sebagai pemeluk agama
Islam dengan mengacu pada nilai-nilai dan moralitas serta tradisi Islam
dalam pandangan Al-Quran.
|
Menjunjung tinggi etika dalam bertingkah dan berbicara
|
Kelas sosial
|
Kelas
bawah, terdiri dari petani dan proletar
|
Kelas menengah, terdiri
dari petani kaya di desa dan pedagang
|
Kelas
atas, golongan bangsawan , kaum elite, keturunan raja-raja besar
Jawa
|
Penguasa
|
Rakyat
|
para
kyailah yang berkuasa
|
Raja, pemimpin di
pemerintahan
|
Mempertahankan golongan
|
Mengadakan upacara di hari-hari besar jawa
|
mengembangkan
pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola
santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok
tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh
gerakan modernis.
|
Menanamkan kepercayaan dan nilai-nilai, serta etika terkait
hinduistik.
|
1.
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data
Abangan, Santri dan Priyayi
Adapun
mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The
Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz
sendiri, meliputi tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan
intensif dalam Bahasa Indonesia di Universitas Harvard, yang kemudian
dilanjutkan dengan mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang
Indonesia di Universitas Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam,
pada bulan Juli sampai Oktober 1952.
Tahap
Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari
bahasa Jawa di Yogyakarta dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai
media untuk memperoleh pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota
Jawa. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama
dan politik di Jakarta, sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki
organisasi birokrasi pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada
khususnya.
Tahap
Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang
merupakan masa penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di
Mojokuto. Dalam tahap ini, Geertz beserta istrinya tinggal di rumah seorang
buruh kereta api di ujung kota.
Selama
berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa pengumpulan data dalam
penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan
informan khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan kegiatan
observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang sering
mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan sebagainya.
Dengan
demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat disimpulkan
bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan ini adalah
penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas
dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan
detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan
untuk kegiatan observasi-partisipatif.
Kaitannya dengan pemilihan kota
“Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya, menurut Geertz karena Indonesia pada
tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi yang
paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan dan kaya akan budaya dan model
keberagamaannya. karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf,
dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif
secara politik. Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba
utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi. Namun bagi Geertz,
“Mojokuto” merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan,
begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi
animisme pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.
2.
RESUME
THE RELIGION OF JAVA : SEBUAH KOMENTAR (HARSJA W. BACHTIAR)
A. PENDAHULUAN
The
Religion Of java ditulis oleh Clifford geertz, guru besar pada university of
Chicago, yang telah melakukan lapangan di mojokuto dari bulan mei 195 sampai
bulan September 1954. Studi itu merupakan sebuah laporan yang sangat cermat.
Banyak tatanan lapangan telah disisipkan ke dalam teks untuk menunjukkan apa
yang telah dikatakan oleh informan-informan yang bersangkutan selama
dilakukannya pekerjaan lapangan. The religion of java disambut dengan baik. Ia
menarik perhatian para ahli antropologi, sosiologi, orang-orang yang sedang
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama islam, dan Indonesia, serta
ahli-ahli ilmu politik yang menaruh minat dalam hubungan abtara agama dan
pwerilaku politik. Itu dipakai sebagai buku referensi oleh banyak orang yang berminat dalam studi tentang
agama atau kebudayaan dan masyarakat jawa.
Tahun
1960 pustakan tentang sosiologi agama dan kepustakaan tentang kebudayaan dan
masyarakat jawa telah dipercaya oleh sebuah studi terperinci
Didalamnya
terdapat secara melimpah bahan-bahan dekstriptif yang terperinci tentang
sejumlah besar aspek kepercayaan dan prsktek keagamaan sebagaimana yang telah
diamati oleh penulisnya dari sebuah kota jawa tertentu, data yang mencerminkan
seorang pekerja lapangan yang rajin juga diingat terbatasnya waktu yang
tersedia baginya untuk meneliti suatu soal yang begitu rumit.
B. PENGERTIAN
TENTANG AGAMA
Pengertian tentang agama jika konsep tentang “sistem
keagamaan yang umum dijawa” itu mengacu kepada agama-agama pendududuk asli
mojokuto, maka orang tentu mengharapkan suatu deskripsi tentang agama-agama
berikut ini, dengan sendirinya dalam versi-versi setempatnya : islam, protestan
(dimojokuto terdapat Jemaah protestan yang kecil), katolik (dimojokuto
kebanyakan orang katolik adalah cina, akan tetapi disana terdapat juga sejumlah
orang jawa katolik), agama jawa, animisme, dan mungkin juga agama hindu dan
agama budha, meskipun kedua agama yang disebut paling akhir itu mungkin tidak
dijumpai dalam bentuk-bentuk tersendiri.
C. VARIAN AGAMA MENURUT Dr.GEETZ
Menurut kepercayaan agama, referensi etis dan idiologi
politik mereka – maka terdapatlah 3 tipe budaya utama. Ketiga tipe itu
dinamakan berturut-turut abangan, santri, dan priyayi. Abangan koma yang
menekankan aspek-aspek animism sinkretisme jawa secara keseluruhan dan pada
umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa penduduk : santri, yang
menekankan aspek – aspek islam sinkrotisme itu dan pada umumnya diasosiasikan
dengan unsur pedangang (dan juga unsur” tertentu kaum tani), dan priyayi, yang
menekankan aspek-aspek hindu dan diasosiasikan
dengan unsur brirokrasi ( Geertz 1960 : 6 ). Perbedaan antara abangan
dan santri diadakan apabila penduduk digolong-golongkan menurut prilaku
keagamaan. Seorang snatri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang
abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu, tergantung kepada nilai-nilai pribadi
orang-orang yang menggunakan istilah-istilah itu istilah priyayi mengacu kepada
orang-orang kelas sosial tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elit
tradisional : yang mengacu kepada orang-orang yang menurut hukum dianggap
berbeda dari rakyat biasa yang disebut wongwidah, wong cilik, atau, bagi kaum
mayoritas wong tani.
Bagian yang terakhir membicarakan masalah konflik dan
intregrasi dari ketiga varian agama itu, atau lebih tepat lagi masalah konflik
dan intregrasi dari masyarakat mojokuto secara keseluruhan. Pembahasan tentang
hubungan-hubungan diantara ketiga istilah itu, dan tentang apa yang dimaksutkan
dengan istilah – istilah itu dalam hal pembedaan antara santri dan abangan,
maka sebagai mana telah dikemukakan, orang-orang yang berlainan dapat menganut
norma-norma yang berlainan tentang ketaatan kepada agama. Seseorang yang
dianggap sebagai taat kepada agama pada seseorang, jadi sebagai santri.
D. “ADAT”
HARUS DIBEDAKAN DALAM AGAMA
Kita harus menyadari perbedaan antara adat atas sistem
normatif tradisional, dan agama, dalam artinya yang luas sekalipun pola-pola
prilaku anggota masyarakat setempat diindonesia sayngat ditentukan oleh
norma-norma tradisional yang diakui dan dipatuhi, yang secara umum dikenal
sebagai adat akan tetapi dapat dikenal juga dengan isitilah-istilah lain
diberbagai tempat. Adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau
diijinkan, dicela atau tegas-tegas dilarang dalam situasi – situasi tertentu
adat dianggap, meskipun tidak selamanya dipatuhi sebagai satu dan banyak
masyarakat masih sebagai satu-satunya norma-norma yang sah yang harus dijadikan
pegangan.
Dimojokuto, adat penduduknya dengan sendirinya adalah
adat jawa (selamatan sunatan) perbedaan antara adat dan agama, apabila disadari
oleh orang maka dalam hal yang demikian adalah lebih tepat untuk menganggap
pola prilaku yang bersangkutan sebagai satu pola prilaku yang ditentukan secara
normative dan bukan sebagai suatu petunjuk tentang adanya “kekuatan batin”
Agama
yang berbeda dari adat dapat diartikan sebagai satu sistem kepercayaan saja
jadi disini hendak dikemukakan bahwa dalam melukiskan agama dalam masyrakat
Indonesia, seperti dimpjokuto, pola-pola prilaku yang dimanifestasikan sebagai
pemenuhan norma-norma adat.
E. MASALAH
SINKRETISME AGAMA
Sinkretisme
agama, fenomena dilukiskan sebagai suatu sistem agama tersendiri yang telah
menyerap unsure-unsur system agama lainnya sedemikian rupa sehingga unsure-unsur
asing itu, bersama-sama dengan inti aslinya. Diangggap sebagai komponen agama
dasar agama tersebut. Gejala itu dapat dilihat dalam bentuk suatu kolektifitas
yang berorientasi kepda agama, dimana anggota-anggotanya menganut kepercayaan,
atau mengadakan upacara, yang merupakan unsur pokok berbagai sistem agama.
Disini
hendak dikemukakan bahwa tingkat personalitas, yang bagaimanapun merupakan
suatu masalah yang bersifat menentukan mengingat kenyataan bahwa data-da ta lapangan sering kali diperoleh dari
perorangan, sedikitnya ada 4 kemungkinan yang berbeda mengenai manifestasi
agama. Pertama, ada kemungkinan bahwa seseorang telah menyakini
kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma satu agama tertentu.
Kedua, seseorang telah menyakini kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma
suatu agama yang benar-benar sinkretik dan ia anggap sebagai system
kepercayaan, ketiga, seseorang telah menyakini kepercayaan, nilai-nilai dan
norma-norma berbagai agama yang berlaku bagi keadaan-keadaan tertentu dan karenanya
diungkapkan perenan khusus yang cocok untuk situasi khusus. Keempat, seseorang
mungkin telah menyakini kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai dan norma yang
merupakan unsure sejumlah system agama yang berbeda satu sama lain, dimana tiap
komplek unsure yang bertentangan diisolir dari yang lainnya.
F. AGAMA
JAWA
Agama
jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan nenek moyang, nenek moyang
itu / leluhur yang terdekat, leluhur tertentu, dari masa lampau yang lebih
jauh, atau pencipta alam semesta/ dianggap sebagai sumber kekuasaan hidup dan
tanpa itu yang bersangkutan tidak akan hidup. Mereka telah memberikan kepada
yang masih hidup satu kebudayaan, satu peradaban, yang dianggap telah
menempatkan mereka pada tingkat sosial dan kerohanian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk lainnya dipulau Indonesia.
Agama
jawa jarang dimanifestasikan dalam bentuknya yang murni. Ilmu kejawen, “ilmu
orang jawa’ yang oleh dr geertz dilukiskan sebagai satu komponen dari mistik
priyayi, merupakan manifestasinya yang paling nyata, meskipun disini perlu
dijelaskan bahwa ilmu kejawen bukanlah suatu pola kebudayaan yang hanya
terdapat pada golongan priyayi saja.
G. VARIAN
AGAMA ABANGAN
Tradisi
abangan, yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan slametan,
suatu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh dan seperangkat
teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, ilmu ghaib, berjiwa sederhana. Inti
ritual terdiri dari slametan atau penjamuan untuk lingkungan tetangga. Abangan adalah kelompok
masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme-sinkretisme Jawa secara
keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa, meskipun
ini bukan sesuatu asoasiasi yang absolut. Tradisi keagamaan kaum abangan mengacu
pada tradisi rakyat yang pokok, misalnya tradisi slametan. Varian agama abangan
ini lebih mencerminkan pemberian tekanan pada aspek-aspek animisme. Salah satu
ciri orang kaum abangan adalah sikap masa bodoh terhadap
ajaran dan lebih menekankan aspek perayaan ritual-ritual upacara adat.
Tradisi keagamaan yang lain
adalah petungan. Petungan yaitu suatu sistem
tradisional Jawa untuk menetapkan hari-hari yang baik. Petungan biasa digunakan
untuk acara perkawinan dan acara-acara penting lainnya. Jadi,
orang abangan adalah mereka yang tidak melibatkan diri secara
aktif dalam agama Islam dan lebih identik dengan tradisi-tradisi rakyat.
H.
VARIAN
AGAMA SANTRI
Santri adalah kelompok masyarakat yang
menekankan aspek-aspek Islam sinkretik dimana pada umumnya diasosiasikan
sebagai pedagang dan petani-petani kaya. Sebagaimana dalam kaum abangan,
asosiasi ini tidaklah sesuatu yang absolut.
Santri diidentifikasikan
dengan mereka yang bersungguh-sungguh sebagai pemeluk agama Islam dengan
mengacu pada nilai-nilai dan moralitas serta tradisi Islam. Apakah seseorang
menganggap dirinya santri atau bukan itu tergantung kepada pengertian orang itu
sendiri mengenai santri. Seseorang menganggap dirinya santri tidak
dengan sendirinya dianggap sebagai santri oleh oranglain, pun sebaliknya. Tidak
ada proses inisiasi formal yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan
seseorang sebagai santri atau non-santri.
Sebagian orang
Jawa membagi varian santri ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1) Santri
leres, yaitu santri-santri yang berada di lingkungan pondok pesantren yang
rajin belajar ilmu keagamaan serta taat dan patuh menjalankan ibadah
2) Santri
blikon, yaitu mereka yang taat dan berpengetahuan tetapi tidak menjalankan
ritual-ritual yang diwajibkan.
3) Santri
meri, yaitu mereka yang tidak berilmu tapi dengan cermat menjalankan pola
perilaku yang diwajibkan bagi santri.
4) Santri
blater, yaitu orang-orang yang taat dan fanatik. Keberadaan mereka lebih
banyak merugikan masyarakat daripada menguntungkan.
5) Santri
ulia, yaitu mereka yang menganggap sembahyang dan berdoa sebagai suatu
kesenangan sehingga hari-harinya dipenuhi dengan sembahyang dan berdoa.
I. VARIAN
AGAMA PRIYAYI
Pada mulanya istilah priyayi hanya
disandangkan bagi golongan bangsawan secara turun temurun namun sejak masa penjajahan
Belanda istilah priyayi juga dialamatkan pada
birokrat-birokrat pemerintah. Kaum priyayi memiliki gelar kehormatan dan
merupakan kaum elite dalam masyarakat tradisional. Tradisi kaum priyayi cenderung
ke arah Hinduistik, mistik, aestitisisme dan kesadaran akan pangkat. Secara
umum, seorang priyayi dianggap mempunyai pengetahuan yang
cukup dalam hal kesusastraan dan filsafat serta terlatih pada kesenian-kesenian
klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford.1983. Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. Diterjemahkan oleh
Aswad Mahasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar