TAFSIR KPK VS POLRI ,BERAKIBAT
MELEMAHNYA KEDUA LEMBAGA PENEGAK HUKUM
NEGARA (NONPUBLIKASI)
Kecamuk KPK lawan Polri sudah pernah terjadi sebelumnya. Dahulu kisah ini dikenal sebagai kisah ”cicak melawan buaya”. Kecamuk KPK-Polri hadir lagi dengan versi baru dan lebih kompleks sebab melibatkan kepemimpinan nasional, partai politik dan DPR RI. Kecamuk KPK lawan Polri saat ini diawali dengan usulan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri oleh presiden. KPK telah mengingatkan bahwa Budi Gunawan termasuk dalam daftar petinggi Polri yang memiliki “rekening gendut” atau terindikasi melakukan korupsi. Namun, presiden tetap percaya diri mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR RI. KPK pun merasa disisihkan oleh presiden dalam pencalon Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dalam pemilihan menteri presiden melibatkan KPK. Tetapi dalam pemilihan Kapolri KPK sengaja ditinggalkan.
Mengapa? Alhasil, KPK meradang! KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka satu hari sebelum Budi Gunawan diberikan pertimbangan oleh DPR RI. Anehnya, anggota DPR RI menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri meskipun ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Karena penolakan publik semakin kuat terhadap Budi Gunawan, presiden menunda pelantikannya dan mengangkan Wakapolri sebagai Plt Kapolri. Penundaan pengangkatan Kapolri membuat suasana semakin memanas. Isu kriminalisasi KPK oleh Polri semakin berkembang. Akhirnya, Polri melakukan serangan balik dengan melakukan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK. Bambang Widjayanto disangka dalam kasus sumpah palsu pada saat ia menjadi pengacara tahun 2010. Saat ini Bambang Bambang Widjojanto telah dilepaskan oleh Polri meskipun status tersangka masih melekat pada dirinya. Konflik KPK lawan Polri terus berlanjutnya dengan dilaporkannya Adnan Pandu Praja ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan kepemilikan saham PT. Desy Timber secara ilegal. Kasus ini terjadi ketika ia masing menjadi pengacara.
Panafsiran atas teks KPK lawan Polri menghasilkan beragam persepsi dalam masyarakat. Pertama, pelemahan KPK. KPK sengaja dibuat lemah atau tidak berdaya agar pemberantasan korupsi tidak berjalan dengan baik atau jika perlu KPK dibubarkan. Wacana pembubaran KPK semakin kuat terdengar karena KPK dianggap musuh abadi oleh orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi. Bahkan KPK dianggap telah menghambat pembangunan karena banyak orang yang takut menggelola uang negara. Para elite politik sering meradang karena gerakan KPK. Salah satu cara untuk melemahkan KPK adalah menetapkan tersangka kepada pimpinan KPK dengan cara mencari-cari kelemahan para komisioner di masa lalu.
Kedua, lemahnya kepemimpinan nasional. Joko Widodo sebagai presiden dianggap lemah karena tidak mampu mengatur KPK dan Polri padahal kedua lembaga penegak hukum ini berada di bawah presiden. Kecamuk KPK lawan Polri merupakan tamparan keras bagi pemerintahan Joko Widodo. Harapan masyarakat sangat besar kepada Joko Widodo untuk penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana mungkin Joko Widodo dapat memimpin negara ini dengan tenang bila sesama lembaga penegak hukum saling berkecamuk. Masyarakat sangat cemas terhadap kepemimpinan Joko Widodo. Pemerintahan sekarang harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa mereka memang mampu mengelola Indonesia sesuai dengan janji-janji manis pada saat kampanye.
Ketiga, memburuknya citra Polri. Penghargaan harus diberikan kepada Polri karena selama ini institusi Polri terus melakukan perbaikan. Reformasi terus terjadi di tubuh Polri sehingga citra Polri terus membaik di mata masyarakat. Namun, kasus KPK lawan Polri saat ini memberikan dampak buruk bagi citra Polri. Upaya yang dilakukan selama ini untuk memperbaiki Polri tercoreng oleh kasus ini. Orang dengan mudah menyalahkan Polri dan membela KPK. Tingkat kepercayaan masyarakat jauh lebih besar kepada KPK dibandingkan kepada Polri. Ini menyebabkan masyarakat cenderung membela KPK dan menyalahkan Polri. Keputusan Polri untuk menetapkan Bambang Widjajanto sebagai tersangka dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai ”aksi balas dendam” Polri kepada KPK, meskipun secara resmi pihak Polri menolak itu.
Keempat, penegakan hukum lawan kepentingan politik. Penegakan hukum bagi kelompok elite di Indonesia kerap berhadapan dengan kepentingan politik. Ketika KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka terlihat adanya dikotomi penegakan hukum dan praktik politik. Penetapan tersangka berada di ranah penegakan hukum sedangkan proses pengajuan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri oleh Presiden kepada DPR adalah bagian dari proses politik. Sehingga meskipun Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka, proses pencalonannya tetap dijalankan di DPR RI. Persetujuan DPR RI atas Budi Gunawan sebagai Kapolri sangat bersifat politis. Keputusan DPR ini memberikan kesan bahwa DPR sendiri ini melakukan perlawanan kepada KPK. Ini menimbulkan persepsi bahwa DPR RI tidak menyukai KPK sebab keberadaan KPK merupakan ancaman tersendiri bagi segelintir anggota DPR RI. Perbenturan upaya penegakan hukum dengan kegiatan politik menghasilkan ketidakpercayaan publik kepada penegakan hukum dan praktik politik di Indonesia. Yang mana hendak ditegakkan hukum atau politik? Hukum memang tidak bisa lepas dari politik karena hukum lahir dari proses politik. Namun, eloknya kegiatan politik harus tunduk pada hukum karena jika hukum tidak ditegakkan maka politik akan membawa bencana.
Persepsi publik telah terbentuk bahwa KPK adalah protagonis sedangkan Polri adalah antagonis dalam drama KPK lawan Polri. Persepsi ini sangat tidak elok. KPK dan Polri seharusnya menjadi penegak hukum utama di Indoensia. Siapakah sutradara yang bisa mengakhiri kecamuk KPK lawan Polri? Presiden memiliki kuasa untuk mengelola ini. Semoga Presiden menjadi sutradara utama yang tegas dan bukan di bawah bayang-bayang sutradara yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar